Perjalanan Menembus Keindahan Jawa Timur: Dari Malang ke Bali

Sebuah cerita perjalanan melintasi lanskap menakjubkan, pengalaman kuliner lokal, dan petualangan tak terduga.

 

Hari Pertama: Melintasi Semeru dan Pesona Alam Jawa Timur

Pagi itu, di pertengahan bulan April 2025, saya memulai perjalanan dari Malang saat jarum jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Udara masih sejuk ketika saya mengemudi menuju rute pertama—jalur yang melewati kaki Gunung Semeru, dari Poncokusumo menuju Senduro, Lumajang.

Jalanan menanjak dengan tikungan tajam membawa saya ke area yang menawarkan panorama memukau: lautan pasir Bromo yang terhampar di bawah. Sinar matahari pagi menyinari hamparan pasir, menciptakan gradasi warna yang mengagumkan. Jalanan yang sempit dan menanjak justru menambah dimensi petualangan dalam perjalanan ini, seakan menguji tekad sekaligus menjanjikan pemandangan indah sebagai hadiah.

“Terkadang, jalanan paling menantang justru menawarkan pemandangan paling indah.”

Perut yang belum terisi penuh sejak pagi memaksa saya untuk berhenti di Glubug Klakah. Di sini, semangkuk bakso panas menjadi penyelamat—kuahnya yang gurih dan baksonya yang kenyal memberikan energi tambahan untuk melanjutkan perjalanan. Warung sederhana itu menawarkan tidak hanya makanan, tapi juga kesempatan untuk beristirahat sejenak dan mengobrol dengan penduduk lokal.

Setelah perut terisi, saya melanjutkan perjalanan dari Senduro menuju Banyuwangi, tepatnya ke daerah Sempu. Di sinilah saya berencana menginap semalam di rumah saudara sebelum menuju pelabuhan Ketapang keesokan harinya. Waktu menunjukkan hampir pukul 19.00 ketika akhirnya saya tiba di Sempu, dengan tubuh lelah namun puas setelah seharian menikmati keindahan Jawa Timur.

Hari Kedua: Petualangan Menuju Pulau Dewata

Esok paginya, 5 April 2025, saya berangkat menuju Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang ke Bali. Di sinilah pengalaman menarik—dan sedikit mengejutkan—terjadi. Ternyata, tiket kapal feri tidak bisa dipesan secara online dalam radius 3 km dari pelabuhan! Informasi ini tidak pernah saya temukan dalam riset perjalanan sebelumnya.

“Maaf mas, kalau mau pesan tiket harus lewat agen resmi yang ada di sekitar pelabuhan,” jelas seorang petugas yang saya tanyai. Akhirnya, pukul 12 siang, saya berhasil mendapatkan tiket melalui salah satu agen yang berjejer di dekat pelabuhan. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa kadang, teknologi belum sepenuhnya menggantikan sistem tradisional yang sudah ada.

Beruntung, antrean ke kapal tidak terlalu ramai. Pukul 12.28, saya sudah berada di dalam kapal, menanti keberangkatan menuju Gilimanuk, Bali. Perjalanan laut selama sekitar satu jam ditemani hembusan angin dan pemandangan laut yang memesona.

Sekitar pukul 13.38, kapal feri merapat di Pelabuhan Gilimanuk. Saya segera melanjutkan perjalanan darat menuju Denpasar. Di tengah perjalanan, perut kembali berbunyi, menandakan saatnya berhenti untuk makan siang dan beristirahat sejenak.

Pilihannya jatuh pada warung makan di Panay Yeh Leh, Jembrana—tempat yang menawarkan kuliner lokal Bali dengan harga yang bersahabat. Pukul 15.29, setelah perut terisi dan energi terisi ulang, saya kembali melanjutkan perjalanan.

Memasuki area Denpasar sekitar pukul 17.33, saya memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum menuju destinasi akhir. Kemacetan kota membuat perjalanan sedikit melambat, namun ini memberikan kesempatan untuk menikmati dinamika dan keunikan Kota Denpasar.

Sebelum akhirnya tiba di kos, saya sempat berhenti untuk membeli bakpau hangat—penutup perjalanan panjang yang manis dan mengenyangkan. Dan akhirnya, dengan campuran rasa lelah dan puas, saya tiba di tempat tujuan.

Pelajaran dari Perjalanan

Perjalanan dua hari dari Malang ke Bali ini tidak hanya memberi saya pengalaman visual yang menakjubkan tetapi juga pelajaran berharga:

  • Keindahan Indonesia tersembunyi di balik jalanan berliku dan tantangan perjalanan
  • Sistem tradisional dan modern kadang berjalan beriringan—seperti sistem pembelian tiket kapal
  • Kuliner lokal menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman perjalanan yang utuh
  • Fleksibilitas adalah kunci saat bepergian—rencana bisa berubah, dan itu tidak masalah
  • Perjalanan ini mungkin telah berakhir, tetapi kenangan dan pelajaran yang didapat akan terus hidup. Dan bukankah itu esensi dari sebuah perjalanan? Bukan hanya tentang destinasi, tetapi tentang proses, pengalaman, dan perubahan dalam diri kita.

silumansupra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *